Monday, August 14, 2006

Tahta Untuk Sang Putri

Tahta Untuk Sang Putri

 

Seorang ayah, kebetulan pengusaha kaya multi-usaha, menghadapi soal

yang amat pelik. Siapakah yang harus dipilihnya menjadi President & CEO

menggantikan dirinya memimpin kerajaan bisnisnya yang sudah dibangun

susah payah lebih dari setengah abad?

 

Kini usianya sudah berkepala tujuh dan penyakit-penyakit tua sudah

mulai menggerogoti dirinya. Ia tahu sebentar lagi dirinya akan mengikuti

jejak nenek-moyangnya menuju lorong hidup manusia fana.

 

Anaknya tiga orang. Si sulung amat cerdas, meraih MSc. dan MBA luar

negeri, ia berselera canggih, senang glamour, ambisius, dan punya pergaulan

yang luas di kalangan jet set. Cuma si ayah cukup khawatir karena si sulung

ini punya bakat bercumbu dengan bahaya seperti (konon) keluarga Kennedy.

Naluri judinya gede, dan niat curangnya pun cukup kuat. Singkatnya, ia cerdas,

kreatif, namun lihai dan licin.

 

Si tengah, lebih hebat lagi. Bergelar PhD. bidang kimia dari

universitas beken di Amerika, ia lulus dengan predikat magna cum laude. Papernya

bertebaran di jurnal-jurnal internasional. Bangga sekali hati si ayah

yang cuma lulus SMP zaman Jepang. Dia dosen dan peneliti. Dan di perusahaan

ayahnya dia menjabat sebagai Direktur Riset dan Pengembangan. Tetapi

menjadi CEO, ia terlalu akademis.

 

Kurang cocok dengan bisnis mereka yang kini berspektrum sangat lebar.

 

Si bungsu, satu-satunya perempuan, cuma lulus S1 dalam negeri.

 

Meskipun sejak lima tahun terakhir ia bergabung dengan usaha ayahnya

sebagai Direktur Grup Konsumer, tetapi ia memulai karirnya di perusahaan asing

sebagai wiraniaga (marketing executive). Ia merangkak dari bawah hingga

15 tahun kemudian bisa mencapai posisi General Manager. Otaknya kalah

brilian dibanding kedua kakaknya.

 

Meskipun cenderung hemat berkata-kata, namun ia menunjukkan bakat

memimpin yang baik. Ia mampu mendengar dengan intens. Berbagai pendapat dan

gagasan bisa diolahnya dengan dalam.

 

Gaya hidupnya biasa saja. Ia disenangi sekaligus disegani orang karena

sikapnya yang fair, jujur, dan mampu merakyat dengan para bawahannya.

 

Nah, jika Anda adalah konsultan independen, siapakah pilih an Anda

menggantikan sang patriarch menjadi President & CEO?

 

Saya bertaruh, sebagian besar Anda akan menominasikan si bungsu.

 

Dan si ayah juga demikian. Masalah ini menjadi pelik, karena menurut

adat-istiadat, si sulunglah pewaris takhta. Dan, ia sangat berambisi untuk

itu.  Sedang si bungsu, selain paling buncit, perempuan lagi.

Jadi ia kalah status, gelar dan gender.

 

Bagaimana jalan keluarnya?

 

Konsultan angkat tangan.

 

Rujukan buku teks tidak ada. Sang patriarch akhirnya hanya bisa

mengandalkan wibawa dan hikmatnya sebagai ayah. Lalu dipanggilnya ketiga anaknya.

 

Dibentangkannya persoalan secara gamblang.

 

Diuraikannya plus-minus setiap anaknya. Dianalisisnya kemungkinan

sukses masing-masing memimpin grup usaha itu menuju milenium ketiga.

Dialog pun dimulai.

 

Dan si ayah segera maklum, dead lock akan terjadi.

 

"Sudahlah, aku akan memutuskan sendiri siapa penggantiku," kata

orangtua itu akhirnya. Ketiganya takzim menurut.

 

Seminggu kemudian, si ayah datang dengan sebuah ujian.

 

"Barangsiapa bisa mengisi ruang ini sepenuh-penuhnya, maka dialah

penggantiku," katanya sambil menunjuk ruang rapat yang cuma terisi

empat kursi dan sebuah meja bundar. "Budget maksimum Rp1 juta," tambahnya

lagi.

 

Kesempatan pertama jatuh pada si sulung. Enteng, pikirnya.

 

Besoknya, dipenuhinya ruangan itu dengan cacahan kertas

berkarung-karung. Dan memang ruangan itu menjadi padat.

 

"Bagus, besok giliranmu," kata si ayah kepada anak keduanya.

 

Duapuluh empat jam kemudian, ruangan itu pun dipenuhinya dengan butiran

styro- foam yang diperolehnya dengan menghancurkan bekas-bekas

packaging.

 

"Oke, besok giliranmu," kata sang patriarch menunjuk putrinya.

 

Esoknya, ketika acara inspeksi dimulai, ternyata ruangan masih kosong.

"Lho, kok kosong?" tanya ketiganya hampir serempak. Sang putri diam

saja. Dimatikannya saklar lampu. Dari sakunya dia keluarkan sebatang lilin.

Ditaruhnya di atas meja.

 

Lalu disulutnya dengan sebatang korek api.

 

"Lihat, ruangan ini penuh dengan terang. Silahkan dinilai, apakah ada

celahkosong tak tersinari," katanya kalem.

 

Tak terbantah siapa pun, dia dinyatakan menang dan sang putri pun

berhak menduduki kursi tertinggi. Problem solved.

 

Kualitas yang ditunjukkan sang ayah dan putrinya adalah apa yang saya

sebut sebagai hikmat. Ciri utama orang berhikmat (wise person) ialah

kemampuan memecahkan masalah secara genuine dan memuaskan. Ini selaras dengan

Jerry Pino yang merumuskan hikmat sebagai kemampuan membuat the best decision

at any given situation.

 

Pintar, di pihak lain, adalah kemampuan mencerna dan mengolah informasi

secara cepat. Ciri-cirinya, rasional, metodik, linier, dan analitik.

Kepintaran umumnya diperoleh dengan olah otak sampai botak.

 

Dari dulu botak memang ciri orang pintar.

 

Tetapi hikmat (wisdom) tidak hanya memerlukan olah otak tetapi terutama

olah hati. Jarang kita sadari, hati kita sebenarnya bisa berpikir. Dalam

tradisi literatur kuno, terutama kitab-kitab suci, hati adalah lokasi

kebijaksanaan, hikmat dan kepandaian. Lebih spesifik, hati adalah access point kita

kepada the higher knowledge, yakni kepada Tuhan sendiri. Dalam arti ini, orang

bijak selalu berkonotasi orang alim dan saleh.

 

Kini, ketika rasionalisme warisan Descartes dan Immanuel Kant menjadi

panglima, kebijaksanaan yang berasal dari hati (nurani atau suara hati)

cenderung dinomorduakan. Yang utama adalah kepala. Dunia politik,

bisnis dan kemasyarakatan kita kemudian didominasi oleh para pakar dan teknokrat

bergelar master, doktor, dan profesor.

No comments: