Thursday, August 24, 2006

Tuesday, August 15, 2006

Bad day....

Sial..gue BT banget neh sore ini. Masalah kecil tapi bikin gue bener2 BT….Well sudahlah, gue ceritain disini ntar malah berabe, gue ceritain lain kali aja. YANG JELAS GUE BT !!!!!!! *&*@*(#@!*(&@#(*&@()*Y*!W*(H!*(^#@

 

Monday, August 14, 2006

Tahta Untuk Sang Putri

Tahta Untuk Sang Putri

 

Seorang ayah, kebetulan pengusaha kaya multi-usaha, menghadapi soal

yang amat pelik. Siapakah yang harus dipilihnya menjadi President & CEO

menggantikan dirinya memimpin kerajaan bisnisnya yang sudah dibangun

susah payah lebih dari setengah abad?

 

Kini usianya sudah berkepala tujuh dan penyakit-penyakit tua sudah

mulai menggerogoti dirinya. Ia tahu sebentar lagi dirinya akan mengikuti

jejak nenek-moyangnya menuju lorong hidup manusia fana.

 

Anaknya tiga orang. Si sulung amat cerdas, meraih MSc. dan MBA luar

negeri, ia berselera canggih, senang glamour, ambisius, dan punya pergaulan

yang luas di kalangan jet set. Cuma si ayah cukup khawatir karena si sulung

ini punya bakat bercumbu dengan bahaya seperti (konon) keluarga Kennedy.

Naluri judinya gede, dan niat curangnya pun cukup kuat. Singkatnya, ia cerdas,

kreatif, namun lihai dan licin.

 

Si tengah, lebih hebat lagi. Bergelar PhD. bidang kimia dari

universitas beken di Amerika, ia lulus dengan predikat magna cum laude. Papernya

bertebaran di jurnal-jurnal internasional. Bangga sekali hati si ayah

yang cuma lulus SMP zaman Jepang. Dia dosen dan peneliti. Dan di perusahaan

ayahnya dia menjabat sebagai Direktur Riset dan Pengembangan. Tetapi

menjadi CEO, ia terlalu akademis.

 

Kurang cocok dengan bisnis mereka yang kini berspektrum sangat lebar.

 

Si bungsu, satu-satunya perempuan, cuma lulus S1 dalam negeri.

 

Meskipun sejak lima tahun terakhir ia bergabung dengan usaha ayahnya

sebagai Direktur Grup Konsumer, tetapi ia memulai karirnya di perusahaan asing

sebagai wiraniaga (marketing executive). Ia merangkak dari bawah hingga

15 tahun kemudian bisa mencapai posisi General Manager. Otaknya kalah

brilian dibanding kedua kakaknya.

 

Meskipun cenderung hemat berkata-kata, namun ia menunjukkan bakat

memimpin yang baik. Ia mampu mendengar dengan intens. Berbagai pendapat dan

gagasan bisa diolahnya dengan dalam.

 

Gaya hidupnya biasa saja. Ia disenangi sekaligus disegani orang karena

sikapnya yang fair, jujur, dan mampu merakyat dengan para bawahannya.

 

Nah, jika Anda adalah konsultan independen, siapakah pilih an Anda

menggantikan sang patriarch menjadi President & CEO?

 

Saya bertaruh, sebagian besar Anda akan menominasikan si bungsu.

 

Dan si ayah juga demikian. Masalah ini menjadi pelik, karena menurut

adat-istiadat, si sulunglah pewaris takhta. Dan, ia sangat berambisi untuk

itu.  Sedang si bungsu, selain paling buncit, perempuan lagi.

Jadi ia kalah status, gelar dan gender.

 

Bagaimana jalan keluarnya?

 

Konsultan angkat tangan.

 

Rujukan buku teks tidak ada. Sang patriarch akhirnya hanya bisa

mengandalkan wibawa dan hikmatnya sebagai ayah. Lalu dipanggilnya ketiga anaknya.

 

Dibentangkannya persoalan secara gamblang.

 

Diuraikannya plus-minus setiap anaknya. Dianalisisnya kemungkinan

sukses masing-masing memimpin grup usaha itu menuju milenium ketiga.

Dialog pun dimulai.

 

Dan si ayah segera maklum, dead lock akan terjadi.

 

"Sudahlah, aku akan memutuskan sendiri siapa penggantiku," kata

orangtua itu akhirnya. Ketiganya takzim menurut.

 

Seminggu kemudian, si ayah datang dengan sebuah ujian.

 

"Barangsiapa bisa mengisi ruang ini sepenuh-penuhnya, maka dialah

penggantiku," katanya sambil menunjuk ruang rapat yang cuma terisi

empat kursi dan sebuah meja bundar. "Budget maksimum Rp1 juta," tambahnya

lagi.

 

Kesempatan pertama jatuh pada si sulung. Enteng, pikirnya.

 

Besoknya, dipenuhinya ruangan itu dengan cacahan kertas

berkarung-karung. Dan memang ruangan itu menjadi padat.

 

"Bagus, besok giliranmu," kata si ayah kepada anak keduanya.

 

Duapuluh empat jam kemudian, ruangan itu pun dipenuhinya dengan butiran

styro- foam yang diperolehnya dengan menghancurkan bekas-bekas

packaging.

 

"Oke, besok giliranmu," kata sang patriarch menunjuk putrinya.

 

Esoknya, ketika acara inspeksi dimulai, ternyata ruangan masih kosong.

"Lho, kok kosong?" tanya ketiganya hampir serempak. Sang putri diam

saja. Dimatikannya saklar lampu. Dari sakunya dia keluarkan sebatang lilin.

Ditaruhnya di atas meja.

 

Lalu disulutnya dengan sebatang korek api.

 

"Lihat, ruangan ini penuh dengan terang. Silahkan dinilai, apakah ada

celahkosong tak tersinari," katanya kalem.

 

Tak terbantah siapa pun, dia dinyatakan menang dan sang putri pun

berhak menduduki kursi tertinggi. Problem solved.

 

Kualitas yang ditunjukkan sang ayah dan putrinya adalah apa yang saya

sebut sebagai hikmat. Ciri utama orang berhikmat (wise person) ialah

kemampuan memecahkan masalah secara genuine dan memuaskan. Ini selaras dengan

Jerry Pino yang merumuskan hikmat sebagai kemampuan membuat the best decision

at any given situation.

 

Pintar, di pihak lain, adalah kemampuan mencerna dan mengolah informasi

secara cepat. Ciri-cirinya, rasional, metodik, linier, dan analitik.

Kepintaran umumnya diperoleh dengan olah otak sampai botak.

 

Dari dulu botak memang ciri orang pintar.

 

Tetapi hikmat (wisdom) tidak hanya memerlukan olah otak tetapi terutama

olah hati. Jarang kita sadari, hati kita sebenarnya bisa berpikir. Dalam

tradisi literatur kuno, terutama kitab-kitab suci, hati adalah lokasi

kebijaksanaan, hikmat dan kepandaian. Lebih spesifik, hati adalah access point kita

kepada the higher knowledge, yakni kepada Tuhan sendiri. Dalam arti ini, orang

bijak selalu berkonotasi orang alim dan saleh.

 

Kini, ketika rasionalisme warisan Descartes dan Immanuel Kant menjadi

panglima, kebijaksanaan yang berasal dari hati (nurani atau suara hati)

cenderung dinomorduakan. Yang utama adalah kepala. Dunia politik,

bisnis dan kemasyarakatan kita kemudian didominasi oleh para pakar dan teknokrat

bergelar master, doktor, dan profesor.

Friday, August 11, 2006

Orang Beragama atau Orang Baik?

Orang Beragama atau Orang Baik?

 

Seorang lelaki berniat untuk menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah. Seorang nenek yang merasa iba melihat kehidupannya membantunya dengan membuatkan sebuah pondok kecil dan memberinya makan, sehingga lelaki itu dapat beribadah dengan tenang.

Setelah berjalan selama 20 tahun, si nenek ingin melihat kemajuan yang telah dicapai lelaki itu. Ia memutuskan untuk mengujinya dengan seorang wanita cantik. ''Masuklah ke dalam pondok,'' katanya kepada wanita itu, ''Peluklah ia dan katakan 'Apa yang akan kita lakukan sekarang'?''

Maka wanita itu pun masuk ke dalam pondok dan melakukan apa yang disarankan oleh si nenek. Lelaki itu menjadi sangat marah karena tindakan yang tak sopan itu. Ia mengambil sapu dan mengusir wanita itu keluar dari pondoknya.

Ketika wanita itu kembali dan melaporkan apa yang terjadi, si nenek menjadi marah. ''Percuma saya memberi makan orang itu selama 20 tahun,'' serunya. ''Ia tidak menunjukkan bahwa ia memahami kebutuhanmu, tidak bersedia untuk membantumu ke luar dari kesalahanmu. Ia tidak perlu menyerah pada nafsu, namun sekurang-kurangnya setelah sekian lama beribadah seharusnya ia memiliki rasa kasih pada sesama.''

Apa yang menarik dari cerita diatas? Ternyata ada kesenjangan yang cukup besar antara taat beribadah dengan memiliki budi pekerti yang luhur. Taat beragama ternyata sama sekali tak menjamin perilaku seseorang.

Ada banyak contoh yang dapat kita kemukakan disini. Anda pasti sudah sering mendengar cerita mengenai guru mengaji yang suka memperkosa muridnya. Seorang kawan yang rajin shalat lima waktu baru-baru ini di PHK dari kantornya karena memalsukan dokumen. Seorang kawan yang berjilbab rapih ternyata suka berselingkuh. Kawan yang lain sangat rajin ikut pengajian tapi tak henti-hentinya menyakiti orang lain. Adapula kawan yang berkali-kali menunaikan haji dan umrah tetapi terus melakukan korupsi di kantornya.

Lantas dimana letak kesalahannya? Saya kira persoalan utamanya adalah pada kesalahan cara berpikir. Banyak orang yang memahami agama dalam pengertian ritual dan fiqih belaka. Dalam konsep mereka, beragama berarti melakukan shalat, puasa, zakat, haji dan melagukan (bukannya membaca) Alquran. Padahal esensi beragama bukan disitu. Esensi beragama justru pada budi pekerti yang mulia.

Kedua, agama sering dipahami sebagai serangkaian peraturan dan larangan. Dengan demikian makna agama telah tereduksi sedemikian rupa menjadi kewajiban dan bukan kebutuhan. Agama diajarkan dengan pendekatan hukum (outside-in), bukannya dengan pendekatan kebutuhan dan komitmen (inside-out). Ini menjauhkan agama dari makna sebenarnya yaitu sebagai sebuah sebuah cara hidup (way of life), apalagi cara berpikir (way of thinking).

Agama seharusnya dipahami sebagai sebuah kebutuhan tertinggi manusia. Kita tidak beribadah karena surga dan neraka tetapi karena kita lapar secara rohani. Kita beribadah karena kita menginginkan kesejukan dan kenikmatan batin yang tiada taranya. Kita beribadah karena rindu untuk menyelami jiwa sejati kita dan merasakan kehadiran Tuhan dalam keseharian kita. Kita berbuat baik bukan karena takut tapi karena kita tak ingin melukai diri kita sendiri dengan perbuatan yang jahat.

Ada sebuah pengalaman menarik ketika saya bersekolah di London dulu. Kali ini berkaitan dengan polisi. Berbeda dengan di Indonesia, bertemu dengan polisi disana akan membuat perasaan kita aman dan tenteram. Bahkan masyarakat Inggris memanggil polisi dengan panggilan kesayangan: Bobby.

Suatu ketika dompet saya yang berisi surat-surat penting dan sejumlah uang hilang. Kemungkinan tertinggal di dalam taksi. Ini tentu membuat saya agak panik, apalagi hal itu terjadi pada hari-hari pertama saya tinggal di London. Tapi setelah memblokir kartu kredit dan sebagainya, sayapun perlahan-lahan melupakan kejadian tersebut. Yang menarik, beberapa hari kemudian, keluarga saya di Jakarta menerima surat dari kepolisian London yang menyatakan bahwa saya dapat mengambil dompet tersebut di kantor kepolisian setempat.

Ketika datang kesana, saya dilayani dengan ramah. Polisi memberikan dompet yang ternyata isinya masih lengkap. Ia juga memberikan kuitansi resmi berisi biaya yang harus saya bayar sekitar 2,5 pound. Saking gembiranya, saya memberikan selembar uang 5 pound sambil mengatakan, ''Ambil saja kembalinya.'' Anehnya, si polisi hanya tersenyum dan memberikan uang kembalinya kepada saya seraya mengatakan bahwa itu bukan haknya. Sebelum saya pergi, ia bahkan meminta saya untuk mengecek dompet itu baik-baik seraya mengatakan bahwa kalau ada barang yang hilang ia bersedia membantu saya untuk menemukannya.

Hakekat keberagamaan sebetulnya adalah berbudi luhur. Karena itu orang yang ''beragama'' seharusnya juga menjadi orang yang baik. Itu semua ditunjukkan dengan integritas dan kejujuran yang tinggi serta kemauan untuk menolong dan melayani sesama manusia.

 

disadur dari Republika:

Kepemimpinan
Oleh: Arvan Pradiansyah, direktur pengelola Institute for Leadership & Life Management (ILM) & penulis buku Life is Beautiful

Sunday, August 06, 2006

Regret

One of my cousins contacted me couple days ago for a job. Well i ask for his academic transcript like usual. Kinda disappointed with his gpa though. It is quite small. So then i start thinking, aside from someone capability, do we always regret what we do in the past? I mean is it always late for a regret?
We are going to school and not study hard enough. What kinda mechanism that available to make us regret faster, faster enough to change the situations? I don't know the answer, may be someone around you? Your parent? But if we are the parent, then what is actually that we should do to make this regret doesn't come late? Not sure about the answer.

------
@Mobile

Tuesday, August 01, 2006

Quote

What really matters is not what happens to you or around you; what matters is how you respond and what you learn from it.

------
@Mobile

Laper :(

Aduh macet nih jalan, angkot serobot kanan kiri, motor kurang ajar, komplit lah perut laparku ini. Komplit pula bt gue gara2 urusan rumah. Well temen g pernah bilang jangan termakan suasana, ya aku rasa sih betul banget tapi gue rasa ya bt ya bt aja. Ya gak? Daripada di rasa rasa normal padahal bt abiz. Luapan perasaan kan baek buat jantung hahaha. Tapi emang yg namanya balance dan kesadaran diri juga penting bgt. Duhh macet knapa sehh iniii...laper :-(

------
@Mobile